http://www.goethe.de/ins/id/prj/art/plf/ess/id235160.htm
The Membaca Kembali Konvensi (Rereading Conventions) exhibition @ edwin's gallery,
august 2004
Yusra Martunus, 31, whose "wall installation"
of aluminum horse shoes titled Bending the Hard drew the public's attention, has
since then made various explorations on the same theme. This exhibit again surprises
with an unusual sculpture in which Yustra puts the handle of a door, lined by
pink lace, on top of what looks like an iron box. This work is titled 0414, or
House amidst melted aluminum. "I have explored the door handle in various
spaces, sometimes even amidst the clouds," reveals the artist, who entitles
his works according to their place in the sequence of this series of explorations.
Membaca kembali Konvensi
Asikin Hasan
Seni patung modern Indonesia, berlangsung kira-kira enam dekade. Dan, kini kita
memandangnya dengan gembira. Sebab lapangan ini bukan lagi sebuah pulau terpencil.
Ia telah dihuni oleh lebih banyak orang dibanding masa-masa sebelumnya. Kita bisa
melihat aktivitas studio-studio, tempat di mana patung diciptakan, di sana proses
kreasi seperti tak hendak berhenti. Selalu ada cadangan enerji dan gagasan-gagasan
baru yang terus mengalir. Di luar studio, perkembangan pesat dalam teknologi bahan,
membangkitkan gairah dan membuka peluang para pematung pada banyak pilihan medium.
Kini tak lagi kayu, batu, tapi sederet material lain menantang kreativitas para
pematung.
Di era 1940-an Hendra Gunawan mencoba memahat batu andesit, dan Affandi mencoba
membentuk patung dari bahan lempung. Mulanya kedua tokoh yang dikenal sebagai
pelukis itu, lebih didorong oleh keinginan menjelajahi pengalaman baru dalam berkarya.
Atau dengan kata lain mereka mencoba mewujudkan apa-apa dalam dwimatra menjadi
trimatra. Itulah sebabnya, kecenderungan Affandi melukis dengan luapan emosi meledak-ledak,
berjejak pada patung-patungnya. Patung Potret Diri, yang sampai sekarang
tersimpan di Museum Affandi, Yogyakarta, menegaskan hal itu. Pun Hendra Gunawan
dengan karya-nya Jenderal Sudirman yang sekarang masih terpancang
di Yogyakarta.
Memang kita segera melihat kelemahannya di sana-sini. Pada sosok patung terjadi
pemiuhan (distorsi) yang tak disengaja, karena beberapa persoalan yang berkaitan
dengan masalah teknis. Dapat dimaklumi, karena mereka melangkah secara otodidak,
belajar sendiri dengan fasilitas dan informasi yang serba terbatas. Belum ada
yang mengajarkan seperti, perlunya membuat model kecil sebelum membuat patung
berskala besar. Sebab membangun sebuah patung perlu akurasi data; panjang, tinggi,
lebar dan seterusnya. Begitupun teknik memahat dan membentuk, perlu pengetahuan
dasar dari mana memulai dan bagaimana mengakhirinya. Soal sifat-sifat bahan yang
lunak dan keras, mana yang dapat dipahat dan mana yang tidak. Semuanya pada waktu
itu hanya dilakukan berdasarkan intuisi dan perkiraan sekenanya. Membangun
karya-karya patung memang jauh lebih sulit ketimbang melukis, ujar Amrus
Natalsya, seorang pelukis yang juga pematung, mengemukakan pengalamannya selama
bertahun-tahun.
Tradisi seni patung bermula dari dua pendekatan yang langsung berkait dengan problem
teknis; memahat dan membentuk. Pendekatan pertama, teknik memahat menggunakan
material keras seperti batu dan kayu, yang secara perlahan-lahan dibangun struktur
bentuknya. Dalam tradisi pahat, tak ada tempat bagi kesalahan, sebagaimana tak
bisa dihapus tinta di atas kertas. Semua dikerjakan sekali jadi. Oleh sebab itu,
keterampilan teknis menjadi pokok utama di sini. Teknik pahat, umumnya diterapkan
untuk membuat patung dalam ukuran terbatas, kira-kira seukuran manusia. Namun
demikian tak menutup kemungkinan diterapkan dalam pembuatan patung dalam ukuran
besar, seperti pada zaman dahulu. Kini, tradisi pahat makin menyingkir dari tradisi
seni patung masa kini. Selain sulit mendapatkan materialnya, juga membutuhkan
waktu yang relatif lama.
Pendekatan kedua dimulai dari materi yang lunak, yaitu tanah liat atau lempung
kini bisa dengan lilin. Pendekatan kedua ini, penuh dengan toleransi. Orang bisa
membongkar atau mengulang kembali pekerjaannya apabila salah atau tidak tepat
meletakkan sesuatu. Setelah membangun bentuk dalam ukuran satu banding satu, dicetak
dengan pelbagai bahan; semen, gipsum, logam, serat gelas, bubuk kerang, dan lain
sebagainya. Di sini, seorang pematung masih memiliki kesempatan untuk menyempurnakan
kembali pekerjaannya. Patung-patung monumen dalam ukuran raksasa di masa kini,
umumnya dibangun mengikuti prinsip yang terakhir ini.
Edhi Sunarso, adalah pematung Indonesia pertama yang mencoba membangun patung
berskala besar dengan cara tersebut. Di tahun 1960-an, ia mencetak patung-patung
monumen dengan bahan perunggu. Di masa itu, pesanan pembangunan patung monumen
yang disokong pemerintah Soekarno mengalir padanya. Sebagai pemimpin bangsa baru
merdeka, Soekarno rupanya ingin cepat-cepat memperlihatkan pada dunia bahwa Jakarta,
dapat menyamakan diri dengan kota-kota besar lain di dunia.
Patung-patung monumen masa Soekarno cenderung realis, itu dimaksudkan agar publik
mudah memahami pesan dan terlibat secara emosional didalamnya. Dengan keterampilan
teknik dan pemahaman anatomi yang baik, Edhi mampu menterjemahkan semangat zamannya.
Patung-patungnya hadir dengan barik kasar, menyiratkan gelora dan membakar semangat,
diantaranya; patung Selamat Datang, Pembebasan Irian Barat,
dan Dirgantara, hingga kini semuanya masih berdiri sebagai land mark
dan orientasi kota Jakarta.
Tradisi patung monumen berlangsung dari orde lama ke orde baru, sampai sekarang.
Di masa orde baru, patung-patung monumen tak lagi bergelora, meskipun masih kita
lihat patung realis dibangun seperti; Patung Proklamator Soekarno-Hatta,
oleh G. Sidharta Soegijo dan Nyoman Nuarta, dan patung Arjuna Wijaya,
karya Nyoman Nuarta. Patung-patung dengan corak lain juga mulai muncul. Umpamanya
Tonggak Samudra, karya G. Sidharta Soegijo, yang merupakan perpaduan
antara kecenderungan modernis dan tradisionalis, patung abstrak Dinamika
Dalam Gerak, karya Rita Widagdo. Dua karya terakhir mengalami penggusuran
oleh pemda DKI, karena kawasan tersebut diperuntukkan bagi perluasan ruas jalan.
Di masa kini dibangun patung Jendral Soedirman, oleh pematung Sunaryo.
Dengan demikian, sepanjang sejarah Indonesia modern, kota Jakarta telah menjadi
semacam museum atau rumah bagi seni patung kita. Dan, masyarakat luas yang memiliki
akses ke titik-titik tertentu di mana patung-patung itu berada, justru mendapatkan
apresiasi seni patung dari situ.
Dari Ruang Publik ke Ruang Pamer
Berangkat dari ruang publik, seni patung bergeser ke ruang-ruang pameran galeri.
Sudah puluhan pameran patung berlangsung, baik yang didukung pemerintah daerah
lewat proyek TIM (Taman Ismail Marzuki) maupun pameran melalui galeri-galeri pribadi.
Dalam tiga dekade terakhir, paling sedikit ada tiga pameran yang cukup dikenal
dan perlu diberikan catatan di sini, diantaranya;
Pertama:
Pameran Seni Patung Kontemporer Indonesia (1973). Inilah untuk pertama kali pelbagai
ragam seni patung, baik yang memiliki kecenderungan tradisional maupun modern,
dirakit dalam satu pameran. Untuk pertama kali pula istilah kontemporer dipergunakan
dalam khasanah seni rupa Indonesia. Pengagas pameran tersebut, G. Sidharta Soegijo,
ketika itu merasa perlu menggunakan istilah yang netral, untuk menandai keragaman
karya-karya dalam pameran tersebut. Sebab, kata-kata tradisi dan modern, sudah
memiliki tempat sendiri, yang satu sama lain saling bertolak-belakang. Pameran
ini diikuti pematung dari Bandung dan Yogyakarta. Dua kubu yang sama-sama memiliki
pengaruh terhadap perkembangan seni rupa modern Indonesia.
Karya-karya dari Yogyakarta masa itu, cenderung ekspresif dan memperlihatkan pengolahan
dengan unsur seni tradisi. Aspek emosi yang menyiratkan kegairahan pematungnya
nampak sangat menonjol. Semangat mempertahankan dekoratipisme yang diyakini mencerminkan
identitas nasional terlihat pula dengan sangat mencolok. Sebaliknya pematung Bandung,
lebih berjarak dengan emosi. Mereka nampak dipengaruhi semangat seni rupa modern
yang, melihat seni rupa sebagai gejala universal dalam lingkup internasional.
Keyakinan formalisme itu membuat karya-karya mereka menjauh dari representasi
sesuatu. Perhatian mereka lebih tertuju pada apek formal seperti; pengolahan bentuk,
barik, harmoni, irama, keseimbangan.
Kedua:
Trienal Jakarta I (1986) dan Trienal Jakarta II (1998). Pameran ini merupakan
langkah awal untuk memantapkan sebuah tradisi trienal, yakni evaluasi perkembangan
seni patung selama kurun tiga tahun sekali. Pada kenyataannya DKJ (Dewan Kesenian
Jakarta) selaku pengagas ide, tak pernah konsisten memenuhi janji 3 tahunan-nya.
Setelah yang pertama pada 1986, DKJ baru dapat menyelenggarakan Trienal II pada
1998, jadi terbentang jarak sepanjang 12 tahun. Namun demikian, kita masih dapat
melihat perkembangan pada Trienal II itu, di mana munculnya wajah-wajah baru antara
lain; Anusapati, Altje Ully, Ali Umar, Gusbarlian, Yani Mariani, Yuli Prayitno,
Yusra Martunus. Bahkan patung kayu Anusapati berjudul Object No. 8
bersama Gula dan Semut, instalasi patung karya Iriantine Karnaya,
terpilih sebagai salah satu karya terbaik.
Ketiga:
Asosiasi Pematung Indonesia (API). Organisasi para pematung ini dimotori G. Sidharta,
menyusul kepulangannya ke Yogyakarta setelah memasuki masa pensiun di ITB. API
mendapat sambutan, terutama dari kalangan yang lebih muda. Itu terbukti dari keanggotaannya
yang terus bertambah. Pameran pertama pada tahun 2000 hanya diikuti 29 pematung,
jumlah itu segera membengkak hampir tiga kali lipat, pada pameran kedua tahun
2001, mencapai 77 pematung. Dan, pada pameran terakhir 2003 lalu, bertambah menjadi
84 pematung, jumlah terbanyak sepanjang sejarah seni patung Indonesia. Kini, hampir
sebagian besar pematung Indonesia terdaftar sebagai anggotanya. Salah satu misi
yang diemban organisasi ini adalah, membangun alternatif setelah macetnya jalan
menuju trienal seni patung.
Membaca Kembali Konvensi
Dalam bahasa Inggris convention, mempunyai sejumlah arti diantaranya; forum pertemuan,
sesuatu kebiasaan yang teradatkan, suatu perjanjian atau kesepakatan bersama,
ketentuan atau kaedah. Istilah konvensi luas dipergunakan dalam dunia keilmuan,
sosial dan politik, untuk memaknai kegiatan masing-masing. Dengan mudah umpamanya,
kita menemukan istilah konvensi pada landasan kenegaraan di Inggris. Di negara
itu tak ada undang-undang dasar, yang ada hanya konvensi, sebuah kebiasaan yang
disepakati bersama sebelumnya.
Di lapangan politik Indonesia, istilah konvensi sempat populer beberapa waktu
lalu. Di situ seperti kita ketahui bersama, konvensi dimaknai sebagai sebuah proses
seleksi dalam partai, untuk memilih seorang calon presiden. Sebuah pola yang sebenarnya
diadaptasi dari tradisi politik Amerika.
Dalam dunia seni, konvensi memudahkan kita untuk mengenal perbedaan antara seni
musik dengan theatre, tari, seni rupa dan seni lainnya. Pada seni musik kita mengenal
notasi dan kunci-kunci nada. Semua itu merupakan konvensi dalam seni musik. Dalam
seni rupa, kita mengenal kata sifat konvensional, untuk mengidentifikasi karya-karya
seperti; seni lukis, seni patung, seni keramik dan seni grafis. Karya-karya semacam
itu memiliki kode-kode tertentu, tradisi tertentu yang menjadi kesepakatan bersama,
seperti diinstitusikan dalam perguruan tinggi lewat fakultas seni rupa.
Pameran ini Membaca Kembali Konvensi, melibatkan 24 pematung dari
Jakarta, Bogor, Bandung, dan Yogyakarta. Jumlah tersebut terhitung besar, setidak-tidaknya
hampir menyamai peserta Trienal Jakarta II yang diikuti oleh 32 pematung. Atau
melampaui jumlah peserta Pameran Pertama Patung Kontemporer Indonesia (1973) yang
hanya melibatkan 20 pematung.
Sebagian besar karya-karya yang dipamerkan di sini, masih memperlihatkan jejak
seni patung pada awalnya yaitu; patung-patung figuratif dan abstrak. Tapi sebagian
lainnya nampak lepas dari tradisi awal itu. Kecenderungan figuratif dan abstrakisme
merupakan arus utama, yang bermuara pada institusi pendidikan seni di Bandung
dan Yogyakarta yang berpengaruh itu. Pada masa lalu antara seni rupa Bandung (ITB)
dan seni rupa Yogyakarta (ASRI/ISI) pernah mengalami suatu perbenturan ideologis.
Yang satu mencoba menempatkan aspek komunikasi dan pesan dalam seni lewat pengembangan
patung-patung figur, lainnya menekankan kualitas bentuk dan meraba esensi didalamnya,
lewat patung-patung abstrak. Ketegangan ini berlangsung dalam kurun cukup panjang.
Sayangnya perbenturan ini tak didasari argumentasi dan teori yang cukup kuat,
selain secara garis besar yang satu menganggap seni untuk kepentingan orang banyak,
dan satu lagi menempatkannya sebagai penghargaan atas kemerdekaan individu.
Kini semua itu telah cair. Ideologi telah dibubarkan oleh bergeraknya waktu dan
berkembangnya dunia pendidikan. Meledaknya Gerakan Seni Rupa Baru pada 1975, dimotori
oleh mahasiswa seni rupa ITB dan ASRI, yang sama-sama menyerang prinsip estetik
yang dianut para seniornya, merupakan tanda-tanda berakhirnya ketegangan dua kubu
tersebut. Tak ada lagi keharusan orang harus begini atau begitu. Siapapun boleh
menentukan keyakinan dan pilihannya sendiri, tanpa harus terikat pada sebuah arus
besar. Dalam pameran ini misalnya, Iriantine Karnaya yang berpendidikan seni rupa
ITB, melunturkan merek abstrak pada dirinya, dengan karya-karya figururatif. Anusapati
yang keluaran ISI, Yogyakarta, meninggalkan figur dan sekaligus pesan sosial didalamnya,
kemudian menuju pada obyek-obyek.
Pameran ini mencoba membaca kembali perubahan-perubahan seperti diungkapkan di
atas, di mana konvensi, walaupun jejaknya masih terasa, tak dapat lagi mengikat
secara ketat. Patung-patung figur yang muncul sejak awal tumbuhnya seni patung
modern di sini, makin menjauh dari kecendrungan realis. Bahkan sebagian mengabaikan
utamanya plastisitas dan kualitas bentuk dalam seni patung. Figur hanya dipakai
sebagai penanda dan bukan sebagai upaya menyalin realitas sesuai fakta obyektifnya.
Atau fakta yang sedikit diidealisir. Begitupun fenomena patung-patung abstrak,
tak sepenuhnya mengikuti prinsip formalisme. Ia dapat beranjak dari pengalaman
apa saja. Selain pada karya-karya Rita Widagdo, hampir tak ada pematung di sini
yang betul-betul setia mengikuti keyakinan modernis itu. Lalu, hadirnya obyek
atau benda-benda dalam seni patung, juga merupakan sesuatu yang harus dibaca kembali
dalam kaitannya dengan konvensi seni patung itu sendiri.
Karya-karya
Dolorosa Sinaga, pematung yang banyak menggarap patung logam berukuran kecil,
kali ini menyajikan tiga patungnya; Tears and Agony, What You
See is Me, dan Penari Gambyong. Pada patung-patungnya, Dolopanggilan
akrabnya menyusun sebuah bingkai cerita yang, menggambarkan kaum ibu, atau kalau
tidak seorang perempuan. Ia nampak tak terlalu mempersoalkan detail, tapi bermain
dengan barik yang kasar dan terkesan ekspresif. Pokok penting padanya adalah membangun
suasana dramatik dan logika bentuk yang dapat terbaca.
Agar patung-patung kecilnya tak tenggelam dalam ruang sebesar apapun, ia kerapkali
membangun kesan monumental pada patung-patungnya, seperti nampak pada Tears
and Agony, patung berukuran 30X10X18 sentimeter. Di situ, kesan monumental
dihadirkannya lewat ekspresi mulut-mulut kecil menganga pada senarai patung itu,
seperti orang tengah meneriakkan protes atau gugatan.
Di antara yang sedikit, Hanung Mahadi memperlihatkan kecenderungan realis lewat
patung logam berjudul Penari, berukuran 9X40X46, terhitung patung
berukuran kecil. Sesosok figur tengah memperagakan sebuah tari. Dalam satu dekade
terakhir, Hanung konsisten dengan tema pertunjukan; penari, pemain gitar, pemain
biola. Ia juga menggarap beberapa tema yang berkait dengan kehidupan sehari-hari,
seperti; pedagang jamu gendong, pemain doger monyet, pengamen dan lain sebagainya.
Pematung Sunaryo mencoba menggambarkan kasih seorang ibu lewat patung logam Ibu
dan Anak. Dengan pemahaman struktur anatomi yang baik, ia dapat dengan mudah
menyederhanakan bagian-bagian tertentu dari patungnya, dan menarik garis besarnya
saja. Misalnya di sini diperlihatkannya wajah, tapi bagian-bagian kecil yang bergantung
di sana; mata, hidung mulut dan telinga, dihilangkan sama sekali. Begitupun jari
kaki dan jari tangan diselesaikan dibalik permainan bentuk dan barik, sehingga
orang tak sempat bertanya dimana disembunyikannya jari jemari itu. Tersebab pengalaman
yang panjang, Sunaryo juga sangat sadar pentingnya plastisitas dan kualitas pada
bentuk. Lihatlah pada karya itu, ia seperti menempatkan sosok sebagai sebuah medan,
tempat mengasah kepekaannya akan irama dalam trimatra. Dilihat dari sudut manapun;
kiri, kanan, depan, belakang, karya tersebut tetap enak dipandang. Selama ini,
Sunaryo biasa muhibah dari kecenderungan figuratif ke abstrak, dan atau sebaliknya.
G. Sidharta Soegijo mengeluarkan patung logam Dua Sejoli, tegak dengan
kukuh, seperti hendak mengatakan dua tubuh itu mesti tetap satu sepanjang masa.
Karya itu mengingatkan kita pada petikan puisi Khairil Anwar Aku Ingin Hidup
Seribu Tahun Lagi. Sidharta dengan segala kegembiraannya membuat yang lain
menjadi optimis. Padanya kita selalu menemukan gairah dan api kehidupan. Tapi,
ia juga pandai menyembunyikan gejolak emosinya, agar tak menjadi terlalu liar,
sebagaimana tercermin pada sejumlah patung-patungnya. Sikap macam itu, boleh jadi
tersebab posisinya yang, selalu berada dalam negosiasi antara tradisi dan kemodernan.
Tarik menarik antara dua kekuatan tersebut dapat diumpamakan, satu sebagai kekuatan
pemacu, satunya lagi sebagai pengendali.
Lain lagi Iriantine Karnaya, pematung yang terus berubah-ubah dan tak mau menetap
dalam satu kecenderungan. Ia risau kalau tak berubah, dan tak pernah merasa rugi
meninggalkan eksperimen yang hampir jadi begitu saja. Pernah ia membuat torso
logam yang tipis, seolah-olah selembar kain yang baru saja terlepas dari tubuh
seorang perempuan. Hanya beberapa dibuatnya, tak lama berselang ia sudah berganti
pokok masalah. Pada pameran ini ditampilkannya Menanti Kekasih (I
dan II), patung yang menggambarkan sosok perempuan jangkung tengah berdiri dengan
kaki menjinjit seperti pebalet, gaya yang tak pernah kita lihat sebelumnya pada
Tinepanggilan akrabnya.
Pematung Yana Wiyatna, menghadirkan Frame Out, menggambarkan empat
sosok yang di sana sini bentuknya mengalami pemiuhan. Orang-orang ditafsirkannya
sebagai gerak dan kelenturan yang bebas, bukan sebuah atlas anatomi yang rumit,
terstruktur secara ketat dan formal. Hal serupa nampak pada karya Thoni Tarigan
Mencari dan Berharap, Richyana dengan patung berjudul She.
Taufan Adi, lebih jauh lagi memiuh patungnya menjadi serba tipis menjulur. Ia
hanya menangkap kesan gerak, tapi tidak pada proporsi yang wajar dari anatomi.
Kesan monumental nampaknya hendak ia hadirkan dengan cara macam itu. Beberapa
patung logamnya; Langkah Anggun Seorang Model, My Beautiful
Lady, Pelukan Cinta, dan Dancer.
Sebaliknya Teguh S, dengan patung logam berjudul Sinigar Sinimpen Jagad,
menampilkan sosok perempuan berotot yang nampak perkasa tengah merentangkan tangan.
Dan, dihadapan sosok itu terpancang sebuah pisang, yang ukurannya separoh dari
patung figur perempuan itu. Seperti karya-karya Teguh sebelum ini, aspek sensualitas
dan simbol-simbolnya, menjadi perhatian utamanya. Bernauli Pulungan, masih dengan
kecenderungan beberapa tahun terakhir ini, membuat patung-patung figur dengan
meminjam pencitraan patung primitif. Ia nampak mengabaikan atau sengaja meninggalkan
pendekatan anatomi yang wajar. Sosok-sosok pada karya itu dibangun mengikuti arah
intuisi. Tapi kita masih dapat melihat logika konstruksinya pada posisi kuda-kuda
sosok tersebut.
Dengan figur-figurnya, Redy Rahadian mencoba menghadirkan suasa dramatik. Ia juga
nampaknya tak terlalu mempersoalkan amat tentang kewajaran dan plastisitas dari
anatomi. Yang penting agaknya sosok dan drama yang hendak disampaikannya terbaca
oleh orang banyak. Ia menampilkan Merenung di Tangga, Blessing,
semua terbuat dari logam. Hal kurang lebih sama ditampilkan Hardiman Radjab, pematung
yang belakangan banyak mengembangkan obyek-obyek dalam karyanya. Ia membuat patung
figur Rocking Chair , menggambarkan seseorang tengah duduk kesepian
di sebuah kursi goyang yang tinggi.
Harry S, pematung realis yang cukup baik di antara pematung-pematung kita menyodorkan
Perjuangan Sosok yang menggambarkan seekor banteng dengan separoh
tubuh koyak moyak, masih meradang menyerang dengan tanduknya. Dalam karya yang
terkesan ekspresif itu, kita melihat jejak keterampilan seorang realis. Ichwan
Noor, membuat patung logam Rekonstruksi , di sini ia menghadirkan
potongan kaki dan tangan yang, dirakit dengan sesuatu bentuk-bentuk formal menyerupai
kursi.
Awan Simatupang, menghadirkan Father and Child menggambarkan tangan
tengadah menyembul dari segumpal batu hitam. Bentuk tangan yang dibangun secara
realis itu, ditengahnya nampak bekam seperti bekas tangan anak-anak. Awan rupanya
mencoba menyampaikan simbol cinta kasih atau kedekatan seorang bapak dan anak
sebagaimana tertera pada judul karya itu. Patung itu merupakan rakitan antara
material batu dan timah (pewter).
Dari Yani Mariani, kita disuguhi perpaduan antara unsur alam dan industri. Ia
merakit bebatuan yang ditemukannya di alam dengan logam. Tradisi merakit ini telah
dimulainya dalam waktu cukup panjang, seperti terlihat pada banyak karyanya yang
lain. Karya-karyanya tampil abstrak, batu dihadirkan sebagaimana sediakala batu
itu sendiri, tak ada keinginannya untuk mereka-reka pada pencitraan tertentu.
Justru timah (pewter) material kecintaannya yang, bertumpu di atas batu tersebut
menjadi ajang bermain-main rupa. Dibangunnya bentuk-bentuk yang menimbulkan multi
tafsir, kadang-kadang bentuk itu mirip sayap burung, sekilas seperti sosok yang
melayang, kadang-kadang seperti sesuatu bentuk yang entah ada di alam ini atau
di alam lain, sebagaimana terlihat pada karya-karyanya; Cradling Thy Being dan
Fly away.
Basrizal Albara, juga punya kecintaan pada bebatuan alam. Dicarinya bebatuan,
hingga harus turun naik bukit, kemudian digelar disekeliling tempat tinggalnya
di Yogyakarta. Ia tak menyapa bebatuan itu dengan pahat, sebagaimana tradisi yang
dikenalnya di perguruan tinggi seni rupa, melainkan memotong, menggergaji, dan
mencacahnya pakai perkakas modern. Sikap itu nampak paradoks antara mencintai
medium dan melukainya. Dalam pameran ini, ia menampilkan karya-karya yang cenderung
abstrak; Korban Perang, Alunan Cinta dan Perahu
(semuanya bebatuan marble). Patung-patung batu abstrak lainnya yang searah dengan
Basrizal, nampak pada karya-karya Akmal Jaya, berjudul Amorous (granit)
dan Sardjito dengan Cahaya Hidup, Ngibing, Ketulusan,
masing-masing menggunakan material marble dan marmer. Pematung Altje Ulli, menampilkan
karya dengan material resin berjudul Cakra Dasar dan Kundalini. Ia
mengekspos bentuk-bentuk cembung, menyiratkan sebuah vitalitas dari dalam. Sebelum
ini Altje banyak menggarap instalasi patung, belakangan bahkan instalasi ruang.
Anusapati tampil agak lain kali ini. Ia tak lagi meminjam rupa dari obyek-obyek
benda pakai tradisional , sebagaimana ciri khasnya dalam satu dekade terakhir,
tapi mengkopi langsung bentuk dari reranting sebuah pohon. Karyanya Bunga
di atas Batu, menggambarkan seonggok ranting di atas sebongkah batu berbentuk
kotak. Nampak kontras antara bentuk batu yang presisi, beraturan dan reranting
yang tak beraturan. Ranting di sana memang bukan sesungguhnya, tapi kopi yang
dipindahkan dari kenyataannya ke material logam, ia hadir sebagai suatu simulasi.
Hal kurang lebih sama dilakukan Rudi Mantofani, yang menghadirkan simulasi buah
semangka terbelah dua lewat Kesegaran Baru, karya yang menggunakan
media campuran, aluminium, serat gelas dan cat.
Yang paling ekstrim tentu saja Yusra Martunus. Ia begitu
jauh dari konvensi seni patung yang pernah hidup di sini. Karyanya berjudul 041404,
tak ada yang dapat menebaknya, ia terkesan menyembunyikan maksud dibalik angka-angka
itu. Karya berbentuk kotak itu, terbuat dari lempengan besi kehitam-hitaman dan
beberapa sapuan cat berwarna hijau, terkesan minimalis. Di bagian atas, Yusra
menempatkan gagang kunci yang biasa dipakai untuk pintu rumah. Sebuah pemandangan
janggal dilihat dari sebuah konvensi. Ia melakukan dekonstruksi makna pada obyek
tersebut dengan menjungkirbalikkan makna semiotika yang umum. Sekaligus melakukan
dekonstruksi pada konvensi seni patung itu sendiri.
Perhatikan pula, sepotong kain renda merah jambu yang mengitari batas kunci tersebut,
juga menguncang kelaziman. Yusra menebar apa yang oleh orang Jerman disebut sebagai
kitsch atau sampah seni, untuk menghadirkan suatu kejengkelan, kemarahan atau
apalah namanya. Provokasi sebagaimana dilakukan Yusra dalam karya ini, merupakan
gejala kuat seni masa kini yang, luas dipamerkan di forum-forum bienal atau trienal
di mancanegara.
Akhirnya kita sadar, demikianlah realitas seni patung masa kini, terlalu banyak
yang telah bergeser dari konvensi-nya. Namun, kelak ia akan melahirkan konvensi-konvensi
baru.
Asikin Hasan
Dengan izin penulis.
Sumber: Katalog Pameran Patung Membaca Kembali Konvensi, 2004